EXPERIENCE



Desember 2016 (3)

Sembuhmu adalah upah termahalku

Jelang tahun baru dalam hawa libur ini tetap ada tanya dari para pasien. Tadinya mau membatasi komunikasi namun tetap tidak bisa.
'....saya masih punya hutang sama pak dokter...dulu kurang bayar...' sebuah tulisan dimonitor gadjet usangku. Keliatannya dari pasien yang sdh tidak saya kenal. Awalnya wa itu saya abaikan. Saya kahwatir wa itu adalah modus penipuan. Namun wa itu datang berkali kali sehingga akhirnya saya tanya siapa pengirim pesan itu.

'...saya pasien Anda...sekarang ini saya sdh sembuh...sdh kembali bekerja...sdh kembali kumpul dengan keluarga...dan senangnya saya sdh punya dikarunia seorang bayi oleh Yang Maha Kuasa....' kabar melalui wa itu membuat saya tercenung. Mengingat siapakah pasien ini. Yang pasti tentu beliau ini adalah pasien lama. Dan wajar saya sdh lupa.

Dengan sebuah senyum saya ucapkan selamat kepada mantan pasien itu. Selamat menjadi seorang ayah. Dan tentang kurang bayarnya saya katakan... saya sudah ridha dengan hutang piutang yang ada. Gak usah khawatir mohon diterima saja dengan senang hati sebagai bentuk hadiah dari kami.

'...sembuhmu adalah upah termahalku...' dengan tulus dan hati senang spenggal frase itu kutulis buat sang bapak muda itu.

Sekali lagi selamat kembali sehat, selamat menjadi bapak...jelang tahun 2017 dengan sehat fisik dan jiwa bagi keluarga.

END


Desember 2016 (2)

Alhamdulillah...

Nasi uduk ini dibawa langsung oleh seorang ibu yang ternyata pasien yang saya operasi lutut nya dengan biaya pemerintah.
Dia bilang setelah operasi...sekarang sudah bisa jualan nasi uduk lagi.

Nasi uduk ibu ini ternyata enak...walaupun lidah saya sangat terbiasa mengaduk nasi padang dalam setiap kunyahan.

Makasih ya bu...lancar berdagang nasi uduk lagi...

Subhanallah

END


Desember 2016 (1)

Lelah dalam diam
Serapah mencipta daya
Berbuah ia tak akan
Bertingkah barulah bisa

Dalam rapat itu diputuskan asuransinya tidak mau membiayai operasi atas penyakitnya.
Lalu mau diapakan derita ibu itu yang tega mendera tubuhnya yang lemah...

Sampai pada kesimpulan bahwa apapun bentuk pembiayaan kesehatan....sudah pasti tidak bisa membantu para orang miskin yang tak punya uang...

Lalu yang bisa membantu itu hanyalah para dermawan....yang kadang mau membantu tenaga (free jasa jasanya)...membantu mengganti biaya habis pakai...

Mari menjadi penderma...baik perorangan...maupun...lembaga..

END


Juli 2014 (2)

Pelayanan Kesehatan Untuk Siapa?

Secara umum kalau kita ingin membagi pasien berdasarkan mampu atau tidak mampu bayar maka dapat kita bagi atas;
(1) pasien yang mampu membayar seluruh pembiayaan pengobatan mulai dari masuk rumah sakit sampai pulang rumah sakit,
(2) pasien yang mampu membayar sebagian pembiayaan dan
(3) pasien yang tidak mampu sama sekali membayar sebagian apalagi keseluruhan pembiayaan.

Persoalan nya adalah bahwa ketiga kelompok ini memiliki hak yang sama memperoleh pelayanan terbaik di negeri ini sebagai warga negara.

Lantas…siapa yang bertanggung jawab menutupi selisih pembiayaan pasien kelompok 2 dan 3???
Jawabannya sesungguhnya ada pada pasal 34 undang undang dasar 1945 yang menyebutkan Fakir miskin dan anak anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.

Sampai pada undang-undang dasar 1945 ternyata sangat mudah mendapatkan jawabannya. Namun pada kenyataannya dilapangan ketika seorang pasien berhadapan dengan petugas baik di tingkat pertama maupun tingkat lanjut masih ada muncul perbedaan persepsi yang memicu pertengkaran pasien dan petugas.

Ada dua hal pemicu pertengkaran ini: Yang pertama adalah masalah ketidaktauan pasien pada prosedur yang difasilitasi pemerintah dan ketergesaan pasien dalam mendapatkan pelayanan. Kedua adalah masalah kekurang pahaman petugas terhadap kesesuaian fasilitas dan jenis masalah yang dihadapi seorang pasien.

Untuk dua masalah terakhir ini saya pikir perlu diadakan edukasi baik terhadap pasien maupun petugas kesehatan sehingga mempermudah pelayanan dan menghindari pertengkaran.
Rujukan:
1. UUD 1945.
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 71 tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan pada jaminan kesehatan nasional.

END


Juli 2014 (1)

Dok, Bapak Sekarang Sudah Dapat Shalat Duduk di Kursi Roda

“…dok…. bapak sekarang sudah dapat shalat duduk di kursi roda…”
Pelan pelan saya baca tulisan di gejet butut saya. Sambil mengingat ingat pasien yang mana..
Saya mencoba mereka-reka pesan singkat ini ditujukan untuk pasien yang mana. Tahun 2014 ini saya menangani lebih dari sepuluh kasus penyebaran keganasan di tulang belakang. Hampir seluruh kasus merupakan rujukan dari sejawat dari onkologi orthopaedi dan bedah onkologi.

“…. bapak saya adalah pasien yang dokter nasehati bahwa tujuan operasi adalah agar bapak saya bisa shalat lagi ke mesjid walaupun dengan kursi roda. Kemoterapi bertujuan untuk membunuh sel kankernya…”
Pesan singkat kedua ini mengingatkan saya pada seorang lelaki berumur sekitar 55 tahun, yang sudah terbaring lebih kurang 8 bulan, dengan kekuatan kaki yang tidak lagi bisa menopang badannya. Dia tampak kurus kering, sulit makan dan semangat hidup yang terkesan redup.

Pada pertemuan pertama dengan pasien ini saya mencoba membangkitkan semangatnya, menguraikan natural history metastasis tumor tulang belakang, dan logical action yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien sehingga dia bisa dudduk dan beribadah shalat berjamaah lagi…

Kegembiraan saya menerima pesan singkat lewat gejet butut saya seolah melupakan beberapa kali pertemuan yang melelahkan tentang bagaimana meyakinkan pasien, keluarga dan beberapa pengunjung yang seakan mendera si pasien agar tetap terbelenggu oleh penyakitnya yang diobati dengan cara alternatif yang sulit diterima akal sehat.

Beberapa kali nasehat upaya memperkuat tulang belakangnya selalu gagal…. hingga akhirnya pesan singkat itu datang juga…..

Selamat ya pak, harapan saya bapak dapat mewujudkan mimpinya berkumpul shalat berjamaah di Mesjid walaupun diatas kursi roda….. mumpung masih di suasana ramadhan….

END